Social Icons

Pages

Friday, March 8, 2013

Makalah Emosi



BAB I
PENDAHULUAN

Pentingnya mempelajari bahasa dan hubungan antara bahasa budaya dan perilaku tidak bisa diabaikan, terutama oleh mahasiswa psikologi. Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan informasi. Bahasa juga merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada generasi berikutnya bahkan tanpa bahasa, budaya seperti yang kita kenal tidak akan ada. Karena itu tidak mengejutkan kalau para ahli psikologi lintas budayalah yang punya minat khusus pada bahasa. Pemahaman tentang bagaimana bahasa diperoleh juga penting karena alasan-alasan praktis. Di jaman globalisasi ini, pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa menjadi alat yang vital untuk memahami dan berkomunikasi dengan orang yang berasal dari kebudayaan lain. Hal ini berlaku baik dalam konteks sebuah masyarakat plural dan multicultural. Psikolog dapat memainkan peran yang penting dalam memfasilitasi perjumpaan-perjumpaan antar budaya semacam itu.
Selain itu juga disebutkan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya shock culture adalah kehilangannya komunikasi antar pribadi dan salah satunya adalah bahasa. Oleh karena itu bahasa sangat penting dipahami atau dikuasai untuk menunjang kehidupan di masa globalisasi ini.
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial. Setiap manusia memiliki emosi, memberinya identitas dan sepertinya harus belajar beradaptasi serta mengontrol emosinya. Mengkaitkan emosi dengan individu adalah berbicara mengenai variasi setiap orang. Bagaimana kita mendefinisikan emosi, seberapa penting kita memandangnya, bagaimana kita mengelolanya, merasakannya, menerimanya dan mengekspresikannya, setiap orang adalah berbeda dan unik. Berbicara mengenai individu manusia tentu tidak lepas dari konteks budaya dalam hidupnya. Bagaimana pun keduanya adalah saling mempengaruhi. Begitupun kaitannya dengan emosi, setiap budaya adalah unik dan berbeda dalam bagaimana budaya tersebut memberi arti, melihat, mengelola, dan mengekspresikan emosinya. Oleh karena itu kita perlu mengetahui bagaimanakah perbedaan ataupun persamaan setiap budaya dalam konsep emosinya.




BAB II
ISI
EMOSI
Pentingnya emosi dalam kehidupan dan perilaku manusia diakui secara luas dalam psikologi. Emosi memberi warna pada hidup, menjadikannya penuh makna. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator penting perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran penting dalam interaksi sosial.

Teori dan Pandangan Tradisional tentang Emosi
Ada dua hal yang biasanya terlintas bila berbicara tentang emosi, yaitu:
1.    Pengalaman emosi, yakni kondisi subjektif, perasaan dalam diri kita.
2.    Ekspresi kita atas emosi melalui suara, wajah, bahasa, atau sikap tubuh (gesture).
Teori utama tentang pengalaman emosional, antara lain:
  1. Teori James/ Lange, menyatakan bahwa pengalaman akan emosi merupakan hasil dari persepsi seseorang terhadap arousal fisiologis (pada sistem saraf otonomik) serta terhadap perilaku tampaknya (overt behaviour-nya) sendiri.
  2. Teori Cannon/ Bard, menyatakan bahwa arousal otonomik terlampau lamban sehingga tidak bisa dipakai untuk menjelaskan terjadinya perubahan dalam pengalaman emosional. Sebaliknya pengalaman emosional yang sadar dihasilkan oleh stimulasi langsung atas pusat-pusat otak di korteks.
  3. Teori Schatcher/ Singer (teori yang terfokus pada peran interpretasi kognitif), menyatakan bahwa pengalaman emosional tergantung hanya pada interpretasi seseorang terhadap lingkungan di mana ia mengalami arousal. Menurutnya emosi tidak terdeferensiasi secara fisiologis.
Adapun beberapa teori umum, yaitu:
  1. Teori Thomkins, menyatakan bahwa emosi bersifat adaptif secara evo;usioner dan bahwa ekspresinya merupakan bawaan biologis dan bersifat universal pada semua orang di budaya manapun.
  2. Teori Ekman (1972) dan Izard (1971), menyatakan bahwa setidaknya terdapat enam ekspresi wajah emosi yang pankultural atau universal, seperti marah, jijik, takut, sedih, dan terkejut.
Kesamaan dari keseluruhan teori ialah semua melihat adanya peran sentral bagi pengalaman emosi subjektif bagi perasaan batin (inner feeling) seseorang.

Perbedaan-perbedaan Kultural dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi
Telaah Russel yang menelaah dari berbagai literatur lintas-budaya dan antropologis tentang konsep-konsep emosi dan meyimpulkan bahwa ada perbedaan antar budaya, yang kadang mencolok,  ini merupakan hal yang bagus dan menjadi landasan yang kuat.

Konsep dan Definisi Emosi
Tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki konsep emosi. Levy misalnya, mengatakan bahwa orang Tahiti tidak punya kata untuk emosi. Lutz juga menyatakan bahwa orang Ifaluk dari kepulauan Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi. Barangkali kata, dan konsep emosi adalah sesuatu yang khas untuk budaya-budaya tertentu saja.
Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara.

Kategori atau Pelabelan Emosi
Orang dari budaya yang berbeda juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Beberapa kosakata bahasa Inggris, seperti anger, joy, sadness, liking, dan loving memiliki padanan dalam berbagai bahasa dan budaya. Ada pula kata-kata emosi dalam bahasa lain yang tidak punya padanan persisnya dalam bahasa inggris, tapi ada banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang tidak punya padanan dalam bahasa lain. Dalam bahasa Jerman misalnya: ada kata Schadenfreude yang berati rasa senang yang timbul karena kesialan orang lain. Dalam bahasa Jepang ada kata-kata itoshii, ijirashii, dan amae dapat diterjemahkan sebagai rasa rindu akan orang tercinta yang tak ada, perasaan ketika melihat orang terpuji mengatasi suatu rintangan, dan perasaan ketergantungan.
Perbedaan bahasa lintas budaya ini menunjukkan bahwa masing-masing budaya memilah-milah dunia emosi dengan cara yang berbeda-beda. Dengan demikian, selain konsep emosi merupakan khas budaya (culture bound), demikian pula dengan cara tiap kebudayaan memberi kerangka dan melabeli dunia emosi.

Lokasi Emosi
Salah satu komponen emosi terpenting dalam psikologi Amerika adalah pengalaman subjektif atas emosi, pengalaman batin emosi dalam diri. Namun penekanan pada pentingnya perasaan batin dan emosi mungkin saja tidak bebas budaya, alias khas psikologi Amerika. Di amerika kita biasa menempatkan perkara emosi dan perasaan batin di jantung (heart) bahkan diantara budaya-budaya yang juga menunjuk tubuh sebagai lokasi emosi, lokasi persisnya bervariasi. Orang Jepang misalnya, mengidentifikasi banyak emosi mereka pada hara-abdomen atau perut. Orang Chewong dari Malay mengelompokkan perasaan dan pikiran di hati (lever). Orang Tahiti percaya bahwa emosi muncul dari usus (intestine).
Pemahaman kita tentang lokasi emosi pun tampaknya terikat oleh budaya. Perbedaan kultural dalam konsep, definisi, pelabelan, dan lokasi emosi semuanya membuat makna emosi menjadi berbeda bagi orang dari budaya yang berbeda serta dalam perilaku mereka.

Perbedaan Makna Emosi bagi Orang dan dalam Perilaku Lintas Budaya 
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna yang amat kental, barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain emosi memiliki peranan yang berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain. Bagi orang Ifaluk di Mikroneia maupun orang Tahiti, emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan-hubungan sosial dan lingkungan fisik. Konsep Jepang amae, menunjuk pada hubungan saling ketergantungan antara dua orang.

Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi
Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dengan kajian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan pentingnya adalah bahwa ahli psikologi biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi model penelitian ini. Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model penelitian yang penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Kajian-kajian ini juga penting karena mereka menunjukkan bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika aspek emosi yang diteliti didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.

Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada ekspresi wajah. Ekspesi wajah dari emosi dari emosi merupakan aspek ekspresi emosi yang paling banyak dikaji, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah yang menjadi pendorong utama kajian-kajian emosi di Psikologi Amerika. Ekman dan Izard mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan ekspresi marah, jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut. Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi tersebut secara biologis bersifat bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam ekspresi emosi. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada situasi sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural display role).
Sebenarnya adanya aturan kultural yang mengatur pengungkapan emosi ini sudah dua dekade yang lalu ditunjukkan oleh sebuah studi komparatif antara perilaku raut muka orang Amerika dan Jepang. Dalam studi ini, dua kebudayaan tersebut menonton film yang amat stessfull dan dalam dua kondisi sosial yang berbeda. Selama eksperimen ini terjadi, wajah mereka diam-diam direkam, hasil yang ditunjukan adalah orang Amerika dan Jepang ekspresi jijik, marah, takut, dan sedih pada saat yang sama, muncul juga perbedaan kultural yang mencolok saat si Eksperimenter muncul, orang Amerika tetap menunjukan emosi negatif mereka namun orang Jepang terus tersenyum.
Temuan ini menunjukan bahwa ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan berpadu dengan aturan-aturan pengungkapan yang bersifat kultural dalam menghasilkan ekspresi-ekspresi emosi dalam interaksi. Penelitian lain ialah bagaimana aturan pengungkapan berbeda secara kultural. Salah satunya, partisipan dari Amerika, Polandia, dan Hungaria diminta melaporkan tingkat tepat tidaknya mengekspresikan masing-masing dari ke enam emosi universal dalam tiga situasi sosial yang berbeda: (1) saat sendirian, (2) saat bersama orang lain yang dianggap sebagai otang dalam (teman dekat, anggota keluarga), dan (3) bersama orang lain yang dianggap orang luar (orang di keramaian, teman sehari-hari). Orang Polandia dan Hungaria menampilkan lebih sedikit emosi negatif dan lebih banyak emosi positif ketika bersama in group dibandingkan orang Amerika, sebaliknya.
Penelitian juga menunjukan adanya perbedaan etnis dalam aturan pengungkapan di Amerika. Dalam penelitian in group dan out group, subjek-subjek penelitian ini diminta untuk menilai tingkat kecocokan tindakan menampilakan emosi-emosi universal dalam situasi sosial yang berbeda-beda. Hasilnya menunjukan bahwa meskipun ekspresi wajah universal itu secara biologis bersifat bawaan sebagai prototipe raut wajah pada semua orang, budaya punya pengaruh besar pada ekspresi emosi lewat aturan-aturan yang pengungkapan yang dipelajari secara kultural. Karena kebanyakan interaksi antar-manusia pada hakekatnya bersifat sosial, kita harus memahami bahwa perbedaan kultural dalam aturan pengungkapan ini berlaku dalam kebanyakan, atau bahkan setiap, kesempatan. Orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dapat, dan memang mengekspresikan emosi secara berbeda.

Persepsi Emosi
Ekman dkk melakukan salah satu penelitian pertama yang menunjukan bagaimana tiap budaya berbeda dalam mempersepsi emosi. Mereka memperlihatkan foto-foto ke enam emosi universal pada pengamat dari sepuluh budaya. Para subjek dari sepuluh budaya itu sepakat dalam hal emosi apa yang ditampilkan, yang menunjukan universalitas rekognisi emosi. Namun tetap terdapat perbedaan antar budaya dalam hal seberapa kuat mereka mempersepsi emosi. Tes ini menunjukan budaya Asia menilai lebih lemah intensitas emosi-emosi tersebut dibanding budaya-budaya non-Asia. Matsumoto dan Ekman mereplikasikan temuan ini, menunjukan bahwa perbedaan kultural dalam hal intensitas yang dipersepsi tetap ada, baik ketika subjek menilai ekspresi orang dari budayanya sendiri maupun dari budaya.
Di bagian lain dari penelitian lintas ras pada subjek Amerika, subjek-subjek Kaukasia, kulit hitamm, Asia dan Hispanik (latin) melihat contoh-contoh ekspresi wajah emosi universal dan diminta untuk memberi penilaian secara skala tentang seberapa kuat intensitas emosi menurut persepsi mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam mempersepsi marah dan takut dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, mempersepsi wajah Kaukasia dengan intensitas lebih tinggi dari pada orang Kaukasia dan Asia, serta mempersepsi ekspresi wanita dengan intensitas lebih tinggi dapi pada orang asia. Orang hispanik juga mempersepsi takut lebih intens dibandingkan orang Asia.
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.
Sebenarnya, perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli emosi juga tampak dalam data dari penelitian semula Ekman dan Izard tentang sifat universal emosi. Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan penelitian tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.
Bagaimanakah cara budaya mempengaruhi persepsi dan interpretasi emosi? Beberapa ahli psikologi percaya budaya memiliki aturan yang mengatur persepsi emosi, seperti halnya aturan pengungkapan yang mengatur ekspresinya. Aturan tentang interpretasi dan persepsi ini disebut aturan dekode (dicoding Rules (BUCK, 1984) aturan ini adalah aturan kultural, sesuatu yang dipelajari, yang membentuk bagaimana orang disuatu budaya memandang dan menginterpretasi ekspresi-ekspresi orang lain. Seperti aturan pengungkapan, aturan dekode dipelajari pada masa-masa awal kehidupan, dan dipelajari sedemikian baik sehingga kita tidak benar-benar menyadari pengaruhnya. Dengan demikian, aturan dekode adalah seperti saringan budaya yang mempengaruhi bagaimana kita menangkap ekspresi emosi orang lain.

Pengalaman Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian mulai mempelajari bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-beda. Penelitian-penelitian tersebut  melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30 budaya dari seluruh dunia yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka alami di kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.
Para responden dalam penelitian ini juga menilai seberapa kuat (intensitas) dan seberapa lama (durasi) mereka mengalami emosi mereka. Orang Amerika merasakan emosi mereka lebih lama dan pada intensitas yang lebih tinggi ketimbang orang Eropa maupun Jepang.

Anteseden Emosi
Beberapa penelitian telah mempelajari apakah anteseden emosi (yakni hal-hal yang memicu atau terjadi mendahului suatu emosi) bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Apakah jenis-jenis kejadian yang sama menghasilkan macam-macam emosi yang sama, pada frekuensi yang kurang lebih serupa, pada budaya yang berbeda-beda? Pertanyaan-pertanyaan ini dikaji oleh sebuah penelitian yang membandingkan orang Amerika dengan Jepang. Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan kultural dalam bagaimana orang dari budaya yang berbeda mengevaluasi situasi-situasi yang membangkitkan emosi.

Fisiologi Emosi
Sampai saat ini, belum ada kajian yang secara formal menguji perbedaan-perbedaan kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis emosi. Meski demikian, ada beberapa penelitian yang telah menguji perbedaan kultural dalam reaksi-reaksi fisiologis dan perilaku yang dilaporkan oleh orang-orang dari beberapa budaya yang berbeda.
Secara umum, responden Jepang melaporkan bahwa mereka lebih sedikit memberi reaksi terhadap emosi dalam bentuk gesture lengan dan tangan, gerak tubuh keseluruhan, dan reaksi vokal dan wajah dibandingkan dengan orang Amerika dan Eropa. Orang Amerika melaporkan bahwa mereka memiliki ekspresifitas lebih tinggi, baik dalam reaksi wajah maupun vokal. Orang Amerika dan Eropa juga melaporkan bahwa mereka banyak mengalami sensasi-sensasi yang murni fisiologis dibanding orang Jepang diantara sensasi-sensasi ini adalah perubahan temperatur tubuh (wajah menjadi merah atau panas, perubahan-perubahan kardio vascular (jantung berdebar, perubahan denyut nadi ), dan gangguan gastric (masalah perut).

Menuju Teori Emosi Lintas Budaya
Kebudayaan mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk emosi manusia. Bukti-buktinya berasal dari berbagai kajian antropologis dan etnografik tentang emosi di berbagai budaya yang berbeda, penelitian psikologis lintas budaya tentang emosi dan penelitian fisologis tentang emosi pada berbagai kelompok ras di Amerika. Tapi sebelumnya, harus dicari cara-cara yang lebih baik untuk mengorganisir dan memahami pengaruh kultural pada emosi. Sebelum kita menemukan fakta-fakta baru tentang perbedaan kultural dalam emosi, kita perlu mencari cara-cara yang bermaksud untuk memahami, memprediksi dan menafsirkan perbedaan kultural. Mencari dan mengambil pendekatan-pendekatan yang secara teoritis relevan dengan budaya dan emosi akan membantu kita untuk memahami budaya dan emosi. Hal itu juga akan memandu upaya pencarian kita untuk menyibak berbagai hubungan antara keduanya dalam cara-cara yang penting.
Saat ini semakin banyak ahli psikologi dan ilmuwan sosial lain yang sepakat bahwa kita perlu mendefinisikan budaya tidak berdasarkan etnisitas atau kebangsaan. Budaya bukanlah biologi, melainkan lebih merupakan suatu konstruk sosio-psikologis. Karena itu, kita perlu beranjak dari kebiasaan mengklasifikasi orang sebagai orang Kaukasia, kulit hitam, Hispanik, dan Asia, atau Amerika, Prancis, Jepang dan Inggris. Kita perlu menemukan cara-cara yang bermakna untuk mendefinisikan budaya dengan mengabaikan etnisitas atau kebangsaan.
Beberapa ahli psikologi telah berusaha melakukan hal ini dalam kajian mereka tentang budaya dan emosi. Pendekatan-pendekatan ini difokuskan pada konstruk sosio-psikologis yang dikenal sebagai individualisme vs kolektifisme sebagai ukuran budaya. Individualisme mengacu pada sejauh mana kebudayaan mengayomi kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan hasrat-hasrat individual diatas kebutuhan kelompok. Kolektifisme mengacu pada sejauh mana sebuah kebudayaan menekankan pada pengorbanan kebutuhan-kebutuhan individu demi kebutuhan kelompok. Salah satu keuntungan utama mendefinisikan budaya dengan individualisme vs kolektifisme adalah bahwa hal ini merupakan suatu konstruk yang benar-benar sosio-psikologis, tidak dibatasi oleh etnisitas maupun kebangsaan. Dengan menggunakan dimensi ini kita bisa meneliti bagaimana berbagai kelompok berbeda satu dengan yang lain dan bagaimana individu-individu dalam kelompok-kelompok tersebut berbeda antar mereka sendiri.
Salah satu hal penting bagi teori emosi lintas budaya adalah petunjuk bahwa ekspresi-ekspresi emosional bervariasi lebih menurut fungsi atau lebih berdasarkan dimensi individualisme vs kolektifisme, ketimbang berdasarkan apa-apa seseorang itu berkulit hitam bangsa Jepang atau bangsa Mesir temuan-temuan dari berbagai kajian terbaru tentang emosi tampaknya mendukung penggambaran kultural ini untuk memahami perbedaan kultural dalam emosi.
Pendekatan ini bukanlah jawaban akhir atas pertanyaan-pertanyaan kita dalam memahami pengaruh budaya atas emosi. Cara-cara untuk menggambarkan budaya secara lebih bermakna ketimbang penggambaran lewat dimensi individualisme vs kolektifisme mungkin akan muncul dan para peneliti mungkin akan menemukan dimensi kultural lain yang lebih relevan untuk memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam emosi.

BAHASA
Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan informasi. Bahasa juga merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi pada generasi berikutnya bahkan tanpa bahasa, budaya seperti yang kita kenal tidak akan ada. Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah suatu aspek penting dalam psikologi bahasa karena pengetahuan tentang hal itu akan membentuk kita dalam memahami isu-isu perilaku manusia yang lebih luas.
Pentingnya mempelajari bahasa dan hubungan antara bahasa budaya dan perilaku tidak bisa diabaikan, terutama oleh mahasiswa psikologi.

Teori dan pandangan tradisional tentang bahasa
Ahli psikolinguistik biasanya mencoba menggambarkan bahasa dengan menggunakan lima ciri atau fitur kritis:
  1. Leksikon atau kosa kata, yaitu kata-kata yang ada dalam sebuah bahasa. Misalnya, pohon, makan, bagaimana, dan pelan-pelan adalah diantara kosa kata bahasa Indonesia
  2. Sintaks dan tata bahasa (grammer) suatu bahasa mengacu pada sistem aturan yang mengatur bentuk kata dan bagaimana kata-kata dirangkai agar bisa menghasilkan ujaran yang punya makna. Misalnya, bahasa Inggris punya aturan gramatikal yang mengharuskan kita menambahkan huruf s dibelakang banyak kata untuk menunjukkan kejamakannya. Dalam bahasa Inggris juga ada aturan sintatik bahwa kata sifat ditempatkan sebelum, bukan sesudah, kebanyakan kata benda. Misalnya, “small dog” dan bukan “dog small”.
  3. Fonologi yaitu sistem aturan yang mengatur bagaimana sebuah kata diucapkan (pronounciation, atau “aksen) dalam suatu bahasa. Contoh dalam bahasa Indonesia bunyi pengucapan ular berbeda dengan pengucapan ulas.
  4. Semantic, yaitu arti yang dimaksud oleh suatu kata. Meja dalam bahasa Indonesia mengacu pada benda berkaki empat yang permukaannya datar.
  5. Pragmatic, yaitu sistem aturan tentang bagaimana bahasa digunakan dan dipahami dalam suatu konteks sosial. Contohnya ucapan “dingin sekali di sisni !” bisa diartikan sebagai permintaan untuk menutup jendela yang  terbuka, atau sebagai pernyataan faktual tentang temperature. Bagaimana sebuah ucapan ditafsirkan bergantung pada konteks sosial atau lingkungannnya.
Ahli psikolinguistik juga menggunakan dua konsep lain untuk membantu menjelaskan struktur bahasa. Fonem adalah unit bunyi terkecil dan paling dasar dalam sebuah bahasa. Fonem adalah landasan hirarki bahasa, dimana struktur bahasa menjadi semakin kompleks seiring dengan bermaknanya bunyi, yang pada gilirannya menghasilkan kata-kata yang dirangkai dalam fase-fase dan akhirnya menjadi kalimat.
Perdebatan psikologi bahasa yang paling abadi dan penting adalah debat tentang hubungan antara jenis bahasa yang digunakan dengan proses-proses berpikir yang kita miliki ini juga sering disebut sebagai hipotesis sapir-whorf. Perdebatan lain tentang psikologi bahasa tentang sejauh mana proses pemerolehan bahasa (language acquisition) bersifat bawaan atau innate, dan sejauh mana proses-proses tersebut kita peroleh lewat pengalaman atau yang telah kita pelajari.

Hipotesis Sapir-Whorf
Hipotesis ini mengatakan bahwa orang yang berbeda bahasa, karena perbedaan bahasa ini orang jadi berfikir secara berbeda.  Pada tabel ada dua faktor yang menentukan pada tingkat mana sebuat versi hipotesis dikategorikan. Faktor pertama berhubungan dengan aspek bahasa dalam hipotesis, misalnya apakah aspek leksikon atau tata bahasanya yang dilihat. Faktor kedua berkaitan dengan perilaku kognitif apa yang dilihat pada seorang pengguna bahasa tertentu.
Data Karakteristik
Data Perilaku Kognitif
Bahasa
Data Linguistik
Data Non-Linguistik
Leksikal / Semantik
Level 1*
Level 2
Gramatikal / tata-bahasa
Level 3
Level 4**
      *    Paling sederhana
      ** Paling tinggi
Dari tingkatan level di atas, level 1 adalah yang paling sederhana dan level adalah yang paling kompleks.

Penelitian lintas budaya tentang hipotesis Sapir-Whorf
Carroll dan Casagrande (1958) meneliti hubungan antara sistem klasifikasi bentuk dalam bahasa Navaho dengan tingkat perhatian anak-anak terhadap bentuk ketika melakukan klasifikasi benda-benda. Carrol dan Casagrande (1958) mencatat bahwa dalam ciri linguistik ini bahasa Navaho jauh lebih kompleks dibandingakan bahasa Inggris. Mereka menduga bahwa ciri linguistik yang demikian punya peran dalam mempengaruhi proses-proses kognitif.
Temuan ini menjadi bukti yang mendukung ide bahwa bahasa yang kita gunakan bisa mempengaruhi pemikiran kita. Ini menunjukkan bahwa bahasa mungkin punya peran perantaraan. Artinya, bila pengalaman non linguistik sebelumnya tidak mengintervensi, bahasa dapat melakukan bagaimana anak-anak memahami berbagai aspek dunia mereka. Dengan kata lain, bahasa barangkali merupakan satu diantara beberapa pengalaman yang bisa mempengaruhi cara berpikir kita.
Sebagian besar kajian awal di bidang ini terfokus pada persepsi warna. Gradasi warna yang continous yang ada di dalam alam direpresentasikan dalam bahasa dalam serangkaian kategoti diskret (berdiri sendiri-sendiri) tidak ada hal yang inhern baik dalam spektrum (warna) maupun dalam perpsepsi manusia terhadap spektrum itu yang mengharuskan pembagiaannya secara demikian.
Penelitian-penelitian tentang bahasa dan persepsi warna biasanya melihat bagaimana warna dikategorikan dan bagaimana warna diberi nama bahasa-bahasa yang berbeda. Brown dan Lenneberg (1954) menemukan adanya hubungan positif antara codability suatu warna dengan tingkat akurasi warna tersebut diingat dalam sebuah tugas memori. Selanjutnya, Berlin dan Kay (1969) melihat adanya urutan evolusioner dalam bagaimana bahasa meng-encode kategori-kategori universal, misalnya bila suatu bahasa memiliki tiga istilah untuk warna, maka kita tahu bahwa tiga istilah tersebut menggambarkan hitam, putih dan merah. Seperti ditampilkan pada table berikut ini:



1.      Semua bahasa memiliki istilah warna untuk hitam dan putih.
2.      Bila sebuah bahasa memiliki tiga istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk merah.
3.      Bila sebuah bahasa memiliki empat istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk hijau atau kuning (tapi tidak keduanya).
4.      Bila sebuah bahasa memiliki lima istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk hijau dan kuning.
5.      Bila sebuah  bahasa memiliki enam istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk biru.
6.      Bila sebuah bahasa memiliki tujuh istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk coklat.
7.      Bila sebuah bahasa memiliki delapan atau lebih istilah warna, maka ia pasti punya istilah untuk ungu, merah muda, orange, abu-abu atau kombinasi dari warna-warna ini.

Temuan-temuan Berlin dan Kay menunjukkan bahwa orang dari budaya yang berbeda mempersepsikan warna dengan cara yang sama, meski ada perbedaan-perbedaan radikal dalam bahasa mereka. Temuan mereka ini dikonfirmasi oleh serangkaian eksperimen yang dilakukan oleh Roshach. Ia ingin menguji seberapa universal secara budayakah titik-titik warna vokal ini. Ia membandingkan dua bahasa yang memiliki jumlah istilah warna yang sangat berbeda. Roshach juga meneliti hubungan antara bahasa dan ingatan, ia berpendapat bahwa minimnya leksikon bahasa suku Dani untuk warna akan menghambat kemampuan mereka dalam membedakan dan mengingat warna. Orang berbahasa Dani juga tidak menunjukkan kemampuan berbeda orang berbahasa Inggris dalam tugas-tugas ingatan. Cara kita mempersepsikan warna sangatlah ditentukan oleh faktor biologis kita, dan khususnya sistem visual biologis kita. Devalois dan rekan-rekannya menyatakan bahwa kita memiliki sel-sel yang hanya terangsang oleh dua warna (misalnya, merah dan hijau, biru dan kuning) dan bahwa sel-sel tersebut dapat dirangsang oleh satu warna itu. Karena itu, sebenarnya perbedaan dalam persepsi warna adalah sesuatu yang mengejutkan.

Bahasa dan perilaku: Kasus Khusus Bilingualisme
Di awal abad ke-20, banyak orang Amerika yang mengira bahwa mengetahui lebih dari satu bahasa adalah sesuatu yang harus dihindari. Yang umum dipercaya adalah bahwa manusia hanya punya “ruang” terbatas untuk menyimpan bahasa, kalau anda mempelajari terlalu banyak bahasa, anda akan mengambil “ruang” yang diperuntukkan fungsi-fungsi lain seperti inteligensi.
Sekarang kita tahu bahwa hal ini salah dan tidak ada bukti bahwa orang bilingual lebih buruk kemampuannya dalam tugas-tugas intelektual (atau tugas-tugas lain). Sebaliknya ada bukti yang menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif.
Di Amerika terdapat sejumlah besar orang (yang terus bertambah) yang sehari-hari menggunakan bahasa inggris dan sebuah bahasa lain. Bahkan, dalam banyak kasus, bahasa lain itulah yang merupakan bahasa ibu mereka. Banyak dari orang-orang ini yang datang ke Amerika dari negara lain. Para imigran bilingual ini memunculkan isu penting, khususnya dalam pandangan psikologi bahasa karena dua bahasa yang mereka miliki sering diasosiasikan dengan dua sistem budaya yang berbeda. Terlebih lagi, banyak individu bilingual yang mengatakan bahwa mereka berpikir dan atau merasa secara berbeda, tergantung pada konteks linguistik mereka saat itu. Ini bisa dilihat sebagai memiliki konsep yang berbeda, tergantung pada bahasa mana yang sedang digunakan.
Pandangan “Whorfian” barangkali akan menjelaskan perbedaan perilaku yang terkait bahasa seperti ini dengan menunjuk pada sistem pragmatik bahasa Inggris dan Cina (serta pada perbedaan linguistik lainnya). Setidaknya ada dua penjelasan mengenai mekanisme yang mungkin berada di balik pergeseran kepribadian yang terkait bahasa seperti ini. Kedua penjelasan ini disebut sebagai hipotesis afiliasi-budaya dan hipotesis afiliasi kelompok-minoritas.
Hipotesis afiliasi-budaya menyatakan bahwa imigran bilingual cenderung mendekatkan atau mengafiliasikan diri pada nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan dari budaya yang diasosiasikan dengan bahasa yang sedang mereka gunakan. Saat bahasanya berganti, nilai-nilai kultural yang terafiliasi pun ikut berganti. Berbeda dengan ini, hipotesis afiliasi-kelompok minoritas menyatakan bahwa imigran bilingual cenderung mengidentifikasi diri sebagai anggota dari kelompok minoritas etnis dan atau mengadopsi perilaku yang di-stereotipe-kan oleh budaya mayoritas tentang perilaku ke-minoritas-an mereka ketika menggunakan bahasa yang diasosiasikan dengan kelompok minoritas mereka itu. Bila stereotipe itu akurat, hipotesis afiliasi-kelompok minoritas akan akan memunculkan prediksi yang sama dengan hipotesis afiliasi-budaya. Dengan kata lain, ketika berinteraksi dalam bahasa pertama orang akan berperilaku secara tipikal budaya mereka sekaligus lebih konsisten dengan stereotipe budaya mayoritas mengenai budaya tersebut. Karena kita bisa menduga adanya perbedaan perilaku yang tergantung pada konteks bahasa, kita bisa juga menduga bahwa ada perbedaan kepribadian dalam konteks linguistik.
Penemuan-penemuan ini menunjukkan betapa eratnya keterkaitan antara bahasa dan budaya, juga membantu menggusur kesalahpahaman yang melihat adanya dua kepribadian dalam seorang individu sebagai tanda bahwa individu tersebut mengalami gangguan jiwa. Situasi seperti ini jelas hal yang natural dan bagian yang sehat dari pengalaman bilingual atau bikultural.

Pemerolehan Bahasa
Salah satu mitos umum yang ada di budaya adalah bahwa anak-anak mempelajari bahasa mereka dengan meniru atau mengimitasi bahasa tersebut yang mereka dengar dari lingkungan asli mereka. Kita sekarang tahu bahwa imitasi bukanlah suatu strategi yang penting dalam mempelajari bahasa. Bahkan, anak-anak jauh lebih canggih ketimbang yang selama ini diyakini dalam strategi belajar mereka. Jean Berco mengatakan bahwa anak-anak tidak sekedar meniru apa yang mereka dengar, melainkan membuat hipotesis-hipotesis tentang bahasa dan kemudian mengujikan hipotesis-hipotesis tersebut. Pembuatan hipotesis dan pengujiannya ini merupakan strategi penting yang dipakai anak-anak di seluruh dunia untuk mempelajri bahasa ibu mereka. Tampaknya hal ini merupakan strategi universal untuk mempelajari bahasa.
Terkadang pengetahuan anak-anak tentang aturan tata bahasa membuat mereka seolah-olah mengalami kemunduran dalam perkembangan bahasa mereka. Orang tua yang cemas mungkin akan menganggap kemunduran yang begitu mencolok sebagai suatu bentuk kesukaran belajar. Tapi, seringkali anggapan seperti itu justru sama sekali keliru. Ketika pemahaman bahasa mereka jadi lebih canggih, anak-anak itu mulai mengetahui aturan tata bahasa dan menerapkannya secara kreatif dalam situasi-situasi baru menunjukkan kecanggihan kognitif yang jauh lebih tinggi ketimbang imitasi semata. Dalam perkembangan selanjutnya anak-anak akan belajar tentang adanya pengecualian-pengecualian dalam aturan yang mereka pelajari.
Orang diberbagai budaya memiliki keyakinan-keyakinan yang berbeda mengenai bagaimana anak-anak mempelajari bahasa. Masing-masing budaya juga berbeda dalam cara mereka memperlakukan anak-anak yang belajar bahasa. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa anak-anak takkan bisa mempelajari bahasa kecuali mereka diajari secara eksplisit.
Perbedaan dalam keyakinan dan praktik-praktik kultural yang terkait dengan pembelajaran bahasa sungguh menakjubkan. Tapi yang lebih menakjubkan adalah bahwa di semua budaya, terlepas dari keyakinan dan praktik yang ada, anak-anak mempelajari bahasa ibu mereka dengan lancar dengan atau tanpa bantuan orang dewasa. Ini mengarah pada kesimpulan bahwa semua manusia memiliki kemampuan-kemampuan universal yang bersifat bawaan untuk mempelajari bahasa. Menurut Chomsky (1967), manusia memiliki apa yang disebut dengan perangkat pemelorehan bahasa (PPB). Ia berpendapat bahwa PPB ini yang memungkinkan semua anak normal untuk mempelajari bahasa dengan lancar. Sekarang ini masih merupakan salah satu penjelasan paling bagus yang kita miliki tentang kenyataan bahwa semua anak normal dapat mempelajari bahasa ibu mereka dengan lancar, terlepas dari segala perbedaan lingkungan mereka.
Bukti lain yang mendukung adanya perangkat pemerolehan bahasa berasal dari penelitian lintas-budaya tentang pidgin dan kreole. Pidgin adalah pengucapan yang disederhanakan yang dipakai untuk komunikasi antara orang yang berbeda bahasa. Kreole adalah bahasa yang didasarkan pada dua atau lebih bahasa yag menjadi bahasa ibu dari orang-orang yang menggunakannya.
Dengan demikian, meski jelas bahwa orang dari budaya berbeda mempunyai pendapat dan sikap yang berbeda mengenai pembelajaran bahasa, belum jelas apakah proses pembelajaran bahasa itu sendiri berbeda secara lintas budaya. Penemuan dari Chomsky mengenai adanya suatu PPB universal merupakan penjelasan terbaik mengenai pemerolehan bahasa saat ini.





KESIMPULAN

Emosi memberi warna pada hidup. Pengalaman emosional juga dapat menjadi motivator bagi perilaku. Ekspresi emosi juga penting dalam komunikasi dan memainkan peran dalam interaksi sosial. Penelitian psikologi lintas budaya tentang emosi dikaji dengan pendekatan antropologis dan etnografis. Tidak semua budaya di dunia memiliki kata yang merepresentasikan konsep emosi dan konsep emosi yang ditunjukkannya pun tidak setara. Orang dari budaya yang berbeda, juga berbeda dalam mengkategorikan atau melabeli emosi. Kebudayaan memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.
Bahasa adalah sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain dan menyimpan informasi. Perbedaan bahasa setiap orang, menyebabkan cara berfikir setiap orang pun berbeda. Begitu pun orang dari budaya yang berbeda mempunyai pendapat dan sikap yang berbeda pula mengenai pembelajaran bahasa.

DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yuniardi, Salis. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Tri Dayakisni.



No comments:

Post a Comment